Romusha Pada Masa Penjajahan Jepang (Ketenagakerjaan, Kekejaman dan Dampak)
Romusha Pada Masa Penjajahan Jepang (Ketenagakerjaan, Kekejaman dan Dampak) - Romusha merupakan panggilan orang Indonesia yang bekerja untuk Jepang tanpa diberikan upah sedikitpun. Sistem kerja romusha pada masa penjajahan Jepang terjadi pada tahun 1942 sampai tahun 1945. Romusha berasal dari bahasa Jepang yang artinya "Serdadu Kerja". Pengertian romusha secara harfiah ialah orang yang pekerjaannya sebagai buruh atau pekerja kasar. Pada dasarnya sistem kerja Romusha sama dengan sistem tanam paksa (kerja paksa) pada masa penjajahan Belanda. Hal ini dikarenakan banyak sekali ketenagakerjaan romusha, bahkan menimbulkan dampak romusha dan kekejaman romusha pada masa penjajahan Jepang tersebut.
Orang orang yang diharuskan melakukan pekerjaan dengan sistem romusha ialah golongan petani, pembangunan, penambangan maupun pekerjaan kasar lainnya. Sistem kerja Romusha yang diterapkan oleh pihak Jepang bermaksud untuk menyiapkan segala hal kebutuhan perang Jepang demi memenangkan peperangan Asia Timur Raya (Perang Pasifik) nantinya. Pada awalnya penduduk pribumi hanya bekerja secara sukarela untuk Jepang. Namun dikarenakan terdapat propaganda yang berisi kemakmuran bersama dalam Asia Timur Raya, kemudian munculah romusha pada masa penjajahan Jepang. Pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan mengenai ketenagakerjaan romusha, kekejaman romusha dan dampak romusha. Berikut ulasan selengkapnya.
Pada saat itu Jepang telah menguasai banyak sekali wilayah Indonesia. Hal ini membuat Jepang membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk membangun sarana pertahanan dengan cepat seperti pembangunan jembatan, jalan raya, kubu pertahanan, gedung bawah tanah dan lapangan udara darurat. Orang orang yang dipekerjakan dengan sistem romusha kebanyakan dari golongan petani. Pertama kali sistem romusha pada masa penjajahan Jepang diberlakukan pada bulan Oktober 1943. Sistem ini diberlakukan untuk beberapa negara jajahan Jepang seperti Serawak, Indonesia, Birma, Malaysia, Muangthai, dan Vietnam. Negara negara tersebut ikut merasakan sistem ketenagakerjaan romusha, kekejaman romusha dan dampak romusha.
Pada awalnya Jepang memberikan motivasi kepada rakyat melalui sidang Chuo Sangi In yang pertama agar rakyat bekerja secara sukarela kepada pemerintahan Jepang. Hal ini dibentuklah badan organisasi Jepang yang bekerja sama dengan Kepala Desa, Camat, Bupati dan Wedana dalam pengerahan tenaga kerja (romusha/buruh) secara sukarela demi pemerintahan Jepang. Namun ketika pelaksanaan romusha dilakukan, syarat syarat dari sukarela tersebut terabaikan. Ketenagakerjaan romusha banyak sekali yang ditolak secara terang terangan oleh masyarakat pribumi. Namun bagi mereka yang menolak romusha pada masa penjajahan Jepang akan dipaksa bahkan sampai dikucilkan. Jika mereka yang menolak melarikan diri kehutan atau kemanapun tetap akan dipaksa oleh pihak Jepang untuk melakukan romusha.
Ketenagakerjaan romusha memiliki dampak yang buruk untuk mereka. Hal ini karena saat pelaksanaan kerja romusha sampai dengan selesai, mereka tidak diberikan upah sedikitpun bahkan fasilitas yang diberikan juga sangat minim. Bagi mereka yang melakukan sistem romusha pada masa penjajahan Jepang tidak dapat menuntut hak apapun karena tidak memiliki perjanjian kerja secara tertulis. Pekerja romusha hanya akan diberikan upah dengan dibayaran yang tidak selayaknya bahkan tidak diberi upah.
Sebelum merebut tanah jajahan Indonesia dari Belanda, Jepang telah memperkirakan bahwa Tanah Jawa akan menghasilkan ketenagakerjaan romusha yang memadai untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Perkiraan ini didasarkan pada pertumbuhan penduduk di tanah Jawa yang pesat serta jumlah penduduknya yang tergolong besar. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan pihak Jepang karena tenaga kerja yang diperoleh tidak memerlukan banyak pengobatan, makanan bahkan upah sekalipun. Pemikiran inilah yang membuat terjadinya sistem romusha pada masa penjajahan Jepang Bahkan pekerja romusha pada saat itu banyak terjangkit wabah penyakit dan mati kelaparan.
Pekerja romusha pada masa penjajahan Jepang berjumlah 4 sampai 10 juta orang. Ketenagakerjaan romusha diperoleh dari program Kinrohosi (kerja bakti) yang dilakukan orang orang Jawa. Pada awalnya sistem kerja ini dilaksanakan dengan sistem sukarela. Namun karena desakan dari Perang Asia Timur Raya membuat Jepang melakukan pemaksaan sistem kerja paksa disetiap desa. Sistem romusha tersebut diserahkan kepada pihak Romukyokai atau panitia pengarah tenaga kerja untuk Jepang. Jepang menerapknn peraturan yang berisi penyerahan satu anggota laki laki dari keluarga petani untuk melakukan sistem kerja romusha. Namun untuk golongan pejabat, pedagang maupun orang Cina dapat digantikan oleh orang miskin dengan cara menyogok pejabat pelaksana pengerahan tenaga Jepang. Penyogokan ini dilakukan dengan maksud agar mereka dapat terhindar dari sistem kerja Romusha.
Para ketenagakerjaan romusha dipropangandakan oleh Jepang sebagai pahlawan kerja atau prajurit ekonomi. Para pekerja romusha pada masa penjajahan Jepang diibaratkan sebagi orang yang sedang melakukan tugas suci demi kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik. Sejumlah 300.000 orang Jawa yang dijadikan sebagai pekerja romusha dan 70.000 orang diantaranya memiliki keadaaan yang menyedihkan.
Kekejaman romusha dirasakan pada pertengahan tahun 1943. Para pekerja romusha pada masa penjajahan Jepang semakin terekploitasi. Hal ini dikarenakan Jepang mengalami kekalahan dalam perang Pasifik. Maka dari itu secara langsung para pekerja romusha dijadikan sebagai tenaga swasembada untuk mendukung Jepang dalam peperangan. Pekerja romusha tersebut didayagunakan sebagai prajurit perang Jepang. Pada saat itu sistem kerja romusha semakin menjadi jadi dan tidak dapat dikendalikan. Namun pada tahun 1945, Indonesia dapat memerdekakan negaranya dan mulai berakhirnya sistem kerja romusha.
Awal kedatangan dari Jepang tersebut sangat baik dengan Indonesia. Namun setelah beberapa waktu sikap Jepang menjadi kejam karena menghilangkan obat obatan, makanan, barang, dan pakaian dari pasaran. Hal ini membuat para penduduk pribumi kesulitan dalam mencari pakaian. Pada saat itu penduduk pribumi seperti kaum pria menggunakan karung goni sebagai celana. Kemudian untuk kaum wanita penduduk pribumi menggunakan kain yang terbuat dari karet sebagai pakaiannya. Kain ini akan terasa lengket dan panas ditubuh saat menempel. Kekejaman romusha pada masa penjajahan Jepang tidak hanya itu saja. Para penduduk pribumi juga banyak yang terkena penyakit koreng karena obat obatan yang sulit dicari dipasaran. Mereka mengobati penyakit tersebut dengan obat obatan yang dibuat sendiri.
Pada saat pemerintahan Jepang, buku buku pelajaran berasal dari kertas merang, sepeda menggunakan ban mati, pensil berasal dari arang. Bahkan kekejaman romusha pada masa penjajahan Jepang membuat penduduk pribumi memungut makanan dari bak sampah. Penemuan mayat dijalananpun bukan hal yang mengagetkan pada masa itu. Pada masa itu penduduk pribumi diajarkan oleh Jepang untuk memakan bekicot (keong racun). Semua akses radio disegel dan dipersulit. Berita yang boleh didengarkan hanyalah dari Dai Nippon saja. Bahkan jika penduduk pribumi mendengarkan siaran dari luar negeri dan ketahuan oleh Jepang maka mereka akan dihukum berat.
Penjajahan Jepang membuat penduduk pribumi sangat menderita, terlebih lagi karena kekejaman romusha pada masa penjajahan Jepang dikala itu. Bahkan saat itu setiap malam terdengar sirine Kuso Keho yang menandakan terdapat serangan udara dari pihak Sekutu. Para penduduk pribumi diharuskan untuk bergegas memadamkan api penerangan. Setelah itu mereka berlari ketempat tempat berlindung. Maka dari itu tidak heran jika didepan rumah terdapat lubang galian untuk kapasitas 4-5 orang untuk berlindung setelah dibunyikan sirine bahaya.
Dampak romusha pada masa penjajahan Jepang dapat dirasakan dalam bidang Ekonomi maupun dalam bidang Sosial Budaya. Berikut dampak dari segi ekonomi maupun sosial budaya.
Bidang Ekonomi
Dampak romusha pada masa penjajahan Jepang dalam bidang ekonomi yaitu:
Bidang Sosial Budaya
Dampak romusha pada masa penjajahan Jepang dalam bidang sosial budaya yaitu:
Demikianlah penjelasan mengenai romusha pada masa penjajahan Jepang, baik ketenagakerjaan romusha, kekejaman romusha, bahkan dampak romusha. Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk anda. Terima kasih.
Orang orang yang diharuskan melakukan pekerjaan dengan sistem romusha ialah golongan petani, pembangunan, penambangan maupun pekerjaan kasar lainnya. Sistem kerja Romusha yang diterapkan oleh pihak Jepang bermaksud untuk menyiapkan segala hal kebutuhan perang Jepang demi memenangkan peperangan Asia Timur Raya (Perang Pasifik) nantinya. Pada awalnya penduduk pribumi hanya bekerja secara sukarela untuk Jepang. Namun dikarenakan terdapat propaganda yang berisi kemakmuran bersama dalam Asia Timur Raya, kemudian munculah romusha pada masa penjajahan Jepang. Pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan mengenai ketenagakerjaan romusha, kekejaman romusha dan dampak romusha. Berikut ulasan selengkapnya.
Romusha Pada Masa Penjajahan Jepang (Ketenagakerjaan, Kekejaman dan Dampak)
Pada saat itu Jepang telah menguasai banyak sekali wilayah Indonesia. Hal ini membuat Jepang membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk membangun sarana pertahanan dengan cepat seperti pembangunan jembatan, jalan raya, kubu pertahanan, gedung bawah tanah dan lapangan udara darurat. Orang orang yang dipekerjakan dengan sistem romusha kebanyakan dari golongan petani. Pertama kali sistem romusha pada masa penjajahan Jepang diberlakukan pada bulan Oktober 1943. Sistem ini diberlakukan untuk beberapa negara jajahan Jepang seperti Serawak, Indonesia, Birma, Malaysia, Muangthai, dan Vietnam. Negara negara tersebut ikut merasakan sistem ketenagakerjaan romusha, kekejaman romusha dan dampak romusha.
Baca juga : Raja Raja Yang Berkorban Untuk Bangsa dan Negara
Ketenagakerjaan Romusha
Pada awalnya Jepang memberikan motivasi kepada rakyat melalui sidang Chuo Sangi In yang pertama agar rakyat bekerja secara sukarela kepada pemerintahan Jepang. Hal ini dibentuklah badan organisasi Jepang yang bekerja sama dengan Kepala Desa, Camat, Bupati dan Wedana dalam pengerahan tenaga kerja (romusha/buruh) secara sukarela demi pemerintahan Jepang. Namun ketika pelaksanaan romusha dilakukan, syarat syarat dari sukarela tersebut terabaikan. Ketenagakerjaan romusha banyak sekali yang ditolak secara terang terangan oleh masyarakat pribumi. Namun bagi mereka yang menolak romusha pada masa penjajahan Jepang akan dipaksa bahkan sampai dikucilkan. Jika mereka yang menolak melarikan diri kehutan atau kemanapun tetap akan dipaksa oleh pihak Jepang untuk melakukan romusha.
Ketenagakerjaan romusha memiliki dampak yang buruk untuk mereka. Hal ini karena saat pelaksanaan kerja romusha sampai dengan selesai, mereka tidak diberikan upah sedikitpun bahkan fasilitas yang diberikan juga sangat minim. Bagi mereka yang melakukan sistem romusha pada masa penjajahan Jepang tidak dapat menuntut hak apapun karena tidak memiliki perjanjian kerja secara tertulis. Pekerja romusha hanya akan diberikan upah dengan dibayaran yang tidak selayaknya bahkan tidak diberi upah.
Sebelum merebut tanah jajahan Indonesia dari Belanda, Jepang telah memperkirakan bahwa Tanah Jawa akan menghasilkan ketenagakerjaan romusha yang memadai untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Perkiraan ini didasarkan pada pertumbuhan penduduk di tanah Jawa yang pesat serta jumlah penduduknya yang tergolong besar. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan pihak Jepang karena tenaga kerja yang diperoleh tidak memerlukan banyak pengobatan, makanan bahkan upah sekalipun. Pemikiran inilah yang membuat terjadinya sistem romusha pada masa penjajahan Jepang Bahkan pekerja romusha pada saat itu banyak terjangkit wabah penyakit dan mati kelaparan.
Pekerja romusha pada masa penjajahan Jepang berjumlah 4 sampai 10 juta orang. Ketenagakerjaan romusha diperoleh dari program Kinrohosi (kerja bakti) yang dilakukan orang orang Jawa. Pada awalnya sistem kerja ini dilaksanakan dengan sistem sukarela. Namun karena desakan dari Perang Asia Timur Raya membuat Jepang melakukan pemaksaan sistem kerja paksa disetiap desa. Sistem romusha tersebut diserahkan kepada pihak Romukyokai atau panitia pengarah tenaga kerja untuk Jepang. Jepang menerapknn peraturan yang berisi penyerahan satu anggota laki laki dari keluarga petani untuk melakukan sistem kerja romusha. Namun untuk golongan pejabat, pedagang maupun orang Cina dapat digantikan oleh orang miskin dengan cara menyogok pejabat pelaksana pengerahan tenaga Jepang. Penyogokan ini dilakukan dengan maksud agar mereka dapat terhindar dari sistem kerja Romusha.
Baca juga : Contoh Tradisi Hindu di Masyarakat Indonesia
Para ketenagakerjaan romusha dipropangandakan oleh Jepang sebagai pahlawan kerja atau prajurit ekonomi. Para pekerja romusha pada masa penjajahan Jepang diibaratkan sebagi orang yang sedang melakukan tugas suci demi kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik. Sejumlah 300.000 orang Jawa yang dijadikan sebagai pekerja romusha dan 70.000 orang diantaranya memiliki keadaaan yang menyedihkan.
Kekejaman Romusha
Kekejaman romusha dirasakan pada pertengahan tahun 1943. Para pekerja romusha pada masa penjajahan Jepang semakin terekploitasi. Hal ini dikarenakan Jepang mengalami kekalahan dalam perang Pasifik. Maka dari itu secara langsung para pekerja romusha dijadikan sebagai tenaga swasembada untuk mendukung Jepang dalam peperangan. Pekerja romusha tersebut didayagunakan sebagai prajurit perang Jepang. Pada saat itu sistem kerja romusha semakin menjadi jadi dan tidak dapat dikendalikan. Namun pada tahun 1945, Indonesia dapat memerdekakan negaranya dan mulai berakhirnya sistem kerja romusha.
Awal kedatangan dari Jepang tersebut sangat baik dengan Indonesia. Namun setelah beberapa waktu sikap Jepang menjadi kejam karena menghilangkan obat obatan, makanan, barang, dan pakaian dari pasaran. Hal ini membuat para penduduk pribumi kesulitan dalam mencari pakaian. Pada saat itu penduduk pribumi seperti kaum pria menggunakan karung goni sebagai celana. Kemudian untuk kaum wanita penduduk pribumi menggunakan kain yang terbuat dari karet sebagai pakaiannya. Kain ini akan terasa lengket dan panas ditubuh saat menempel. Kekejaman romusha pada masa penjajahan Jepang tidak hanya itu saja. Para penduduk pribumi juga banyak yang terkena penyakit koreng karena obat obatan yang sulit dicari dipasaran. Mereka mengobati penyakit tersebut dengan obat obatan yang dibuat sendiri.
Pada saat pemerintahan Jepang, buku buku pelajaran berasal dari kertas merang, sepeda menggunakan ban mati, pensil berasal dari arang. Bahkan kekejaman romusha pada masa penjajahan Jepang membuat penduduk pribumi memungut makanan dari bak sampah. Penemuan mayat dijalananpun bukan hal yang mengagetkan pada masa itu. Pada masa itu penduduk pribumi diajarkan oleh Jepang untuk memakan bekicot (keong racun). Semua akses radio disegel dan dipersulit. Berita yang boleh didengarkan hanyalah dari Dai Nippon saja. Bahkan jika penduduk pribumi mendengarkan siaran dari luar negeri dan ketahuan oleh Jepang maka mereka akan dihukum berat.
Baca juga : Peran Indonesia Dalam Lembaga Internasional Beserta Penjelasannya
Penjajahan Jepang membuat penduduk pribumi sangat menderita, terlebih lagi karena kekejaman romusha pada masa penjajahan Jepang dikala itu. Bahkan saat itu setiap malam terdengar sirine Kuso Keho yang menandakan terdapat serangan udara dari pihak Sekutu. Para penduduk pribumi diharuskan untuk bergegas memadamkan api penerangan. Setelah itu mereka berlari ketempat tempat berlindung. Maka dari itu tidak heran jika didepan rumah terdapat lubang galian untuk kapasitas 4-5 orang untuk berlindung setelah dibunyikan sirine bahaya.
Dampak Romusha
Dampak romusha pada masa penjajahan Jepang dapat dirasakan dalam bidang Ekonomi maupun dalam bidang Sosial Budaya. Berikut dampak dari segi ekonomi maupun sosial budaya.
Bidang Ekonomi
Dampak romusha pada masa penjajahan Jepang dalam bidang ekonomi yaitu:
- Penyuluh dalam bidang pertanian tidak berasal dari ahli pertanian.
- Hewan yang berguna dalam pertanian banyak direbut oleh Jepang.
- Tenaga kerja petani semakin berkurang karena banyak dijadikan sebagai tenaga kerja romusha.
- Penebangan hutan liar banyak terjadi.
- Terdapat kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi kepada Jepang.
Bidang Sosial Budaya
Dampak romusha pada masa penjajahan Jepang dalam bidang sosial budaya yaitu:
- Banyak rakyat pribumi yang kelaparan serta memiliki kondisi yang serba kekurangan.
- Masyarakat dipilih sebagai tenaga kerja romusha oleh camat dan kepala desa masing masing.
- Ketentraman masyarakat Jawa semakin hancur karena sistem kerja romusha.
Demikianlah penjelasan mengenai romusha pada masa penjajahan Jepang, baik ketenagakerjaan romusha, kekejaman romusha, bahkan dampak romusha. Semoga artikel ini dapat bermanfaat untuk anda. Terima kasih.
0 Response to "Romusha Pada Masa Penjajahan Jepang (Ketenagakerjaan, Kekejaman dan Dampak)"
Posting Komentar